17 Oktober 2008

Catatan Rosihan Anwar: Soekarno dan Hatta Itu Antikapitalis

17/08/07 17:15

Menjelang perayaan hari ulang tahun ke-62 Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 saya diwawancarai oleh sejumlah stasiun televisi yang menanyakan apa yang saya ketahui tentang Ibrahim Datuk Tan Malaka yang meninggal tahun 1949 dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.

Bagaimana pendapat saya tentang Bapak-Bapak Pendiri Republik Indonesia Soekarno dan Mohammad Hatta? Pengalaman saya sebagai wartawan sejak di zaman Jepang dan selanjutnya, dan bagaimana penilaian saya tentang situasi pers Indonesia dewasa ini yang setelah menjadi pers bebas tampaknya kebablasan sehingga mengabaikan
norma-norma etika dan moral.

Saya tidak termasuk kaum tua yang bernostalgia kepada masa silam. Saya tidak ingin bersitekan bahwa perjuangan Angkatan 45 untuk menegakkan kemerdekaan, itulah yang paling hebat. Saya juga tidak mau mengatakan bahwa generasi muda sekarang tidak menghargai jasa dan pengorbanan generasi tua.

Akan tetapi dalam renungan 17 Agustusan saya teringat akan fakta sejarah bahwa Soekarno dan Hatta itu adalah antikapitalis.

Mereka dipengaruhi oleh Zeitgeist atau semangat zaman yang terdapat di Eropa pasca Perang Dunia I (1914-1918) yaitu membebaskan orang kecil, golongan buruh dari kungkungan keterbelakangan, kemiskinan, mengangkat martabat kaum pekerja menjadi layak menurut perikemanusiaan. Mereka menganut ideologi sosialisme. Mereka menolak kapitalisme.

Hatta dan Sjahrir yang berada di Negeri Belanda sebagai mahasiswa pada tahun 1920-an dan awal 1930-an menjadi sosialis-demokrat, mempelajari Marxisme yang digunakan sebagai alat metode untuk memahami masyarakat.

Soekarno di Indonesia yang menuntut pelajaran di Sekolah Tehnik Tinggi di Bandung melalui buku-buku yang diterimanya dari Belanda, yang dibacanya dengan cermat, meskipun tidak pernah melawat ke Barat, namun sampai juga pada muara yang sama seperti Hatta dan Sjahrir yaitu penganut sosialisme, walaupun disajikan sebagai sebuah variant dari sosialisme, lalu menyebutnya sosialisme ala Indonesia.

Maka Soekarno-Hatta-Sjahrir yang pada awal revolusi memegang peran penting sebagai pemimpin bangsa, dan secara formal dalam pemerintah RI bertugas masing-masing sebagai Presiden, Wakil Presiden dan Perdana Menteri yang pertama adalah bersikap antikapitalis.

Ini dapat dimengerti. Dalam perjuangan mereka ke arah Indonesia Merdeka mereka menghadapi kolonialisme Belanda yang dibelakangnya berada kaum kapitalis Belanda. Untuk memerdekakan rakyat Indonesia mereka pada instansi pertama adalah nasionalis. Dan disamping sebagai nasionalis mereka juga sosialis.

Dalam renungan 17 Agustus kenangan saya kembalai ke awal tahun 1945 ketika bangsa dan negeri kita merintih derita di bawah cerpu kaum penindas dan saya menjadi reporter pada harian "Asia Raja".

Masa itu kaum cerdik pandai kita lagi memikirkan bagaimana konsep dan bentuk ekonomi yang hendak kita jalankan. Pada awal Januari 1945 sejumlah pengusaha golongan Islam bertemu, lalu mendirikan Susunan Ekonomi Bangsa Indonesia Islam.

Pada tanggal 6-8 April di Bandung diselenggarakan suatu pertemuan untuk merancang sebuah rencana bagi suatu ekonomi nasional.

Di situ Hatta dengan dihadiri oleh Soekarno dan pengusaha Agoes Moesin Dasaad mengungkapkan pandangan-pandangannya mengenai suatu ekonomi nasional yang dinamakannya ekonomi kerakyatan sebagai antitesa bagi ekonomi kolonial yang adalah suatu ekonomi eksploitasi.

Dalam pertemuan di Bandung itu tidak hadir orang-orang Tionghoa dan Arab dari kalangan dagang. Pada bulan Juni 1945 didirikan organisasi ketiga yakni Panitia Pemilih Bangsa Indonesia Menjadi Pengusaha Kebun Milik Musuh.

Tujuannya ialah agar onderneming Belanda diambilalih oleh pihak Indonesia, dan secara jelas dikatakan pula bahwa orang-orang Tionghoa tidak dibolehkan masuk di situ.

Pada tanggal 20-24 Juli kembali di Bandung diselenggarakan sebuah pertemuan dan di situ Hatta dengan dihadiri oleh Soekarno mengajukan Ekonomi Baru yang berdasarkan suatu sistim koperasi, di mana pemerintah mengendalikan dan menjalankan perusahaan-perusahaan besar.

Salah satu resolusi yang diambil mengenai didirikannya Persatuan Tenaga Ekonomi Bangsa Indonesia yang diketuai oleh Syafruddin Prawiranegara SH. Seminggu kemudian Hatta membuka dengan resmi kantor pusat PTEBI tadi yang disebut Pusat Tenaga Ekonomi. Itulah buah pikiran Hatta mengenai ekonomi nasional.

Dalam pada itu Badan Persiapan Urusan Kemerdekaan sudah berjalan di Jakarta dan dalam menyusun konstitusi atau undang-undang dasar Hatta memasukkan kedalamnya pasal yang menyebut tentang ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan dan yang dilaksanakan untuk kemakmuran sebesar-besarnya bangsa Indonesia.

Tidak dilupakan soal kesejahteraan sosial dan keadilan dalam usaha mewujudkan kemakmuran. Bila dikaji dengan seksama, maka dalam konstitusi itu terekspresikan pula sikap dan jiwa anti-kapitalis.

Dari perjalanan sejarah kita tahu bahwa cita-cita semula Soekarno dan Hatta itu tidak sampai bisa dilaksanakan dengan baik. Apalagi di zaman ekonomi global sekarang dianggap tidak pragmatis dan reslistis berbicara tentang anti-kapitalis.

Meskipun begitu saya kemukakan juga fakta sejarah tadi. Arkian, kata sahibulhikayat, "once upon a time Soekarno dan Hatta" itu adalah nasionalis dan sosialis-demokrat yang tegas bersikap anti-kapitalis.

Kini semua itu tinggal sebagai suatu memori belaka. Toh saya sampaikan sebagai catatan, dan siapa tahu sebagai bahan renungan bagi Anda yang merayakan 17 Agustusan.(*)

Antara© 2007

15 September 2008

Mohammad Hatta: Indonesian politician

a leader of the Indonesian independence movement who was prime minister (1948–50) and vice president (1950–56) of Indonesia.

While he studied in The Netherlands from 1922 to 1932, he was president of the Perhimpunan Indonesia (Indonesian Union), a progressive, nationalist political group founded by overseas Indonesian students. Returning to the Dutch East Indies in 1932, Hatta was arrested for his political activities by the Dutch in 1934 and sent to the infamous concentration camp of Boven Digul in West New Guinea. In 1935 he was exiled to the island of Bandanaira, where he remained until the eve of the Japanese invasion in World War II.

In contrast to the Dutch, the Japanese actively promoted Indonesian nationalism. Hatta and Sukarno, the future president of Indonesia, collaborated with them in establishing numerous Indonesian mass organizations; in 1943 they helped to organize the Japanese-sponsored home defense corps Sukarela Tentara Pembela Tanah Air (Peta), the first Indonesian armed force. When it became clear that the Japanese would lose the war, however, many nationalists urged an insurrection and immediate independence, but Hatta advised patience until they were sure that the Japanese would surrender. On Aug. 17, 1945, he and Sukarno were kidnapped by members of the students’ union and persuaded to declare Indonesian independence. Hatta served as vice president in the subsequent revolutionary government. In 1948, when he was prime minister, he played an important part in the suppression of the communist revolt at Madiun in eastern Java, a measure that gained the struggling government many supporters in Western countries. He led the Indonesian delegation at the United Nations-sponsored Hague Conference (Aug. 23–Nov. 2, 1949) that culminated in the recognition by The Netherlands of Indonesia’s complete independence. While serving as prime minister during the first seven months of 1950, he helped to guide the new country through a crucial period of transition from a federal to a unified state.

Hatta served as vice president until December 1956, when he resigned because of increasing disagreement with President Sukarno’s policy of “guided democracy.” Essentially a moderate, administratively oriented leader, Hatta felt that dealing with Indonesia’s grave economic crises was of primary importance and feared that Sukarno’s policies would bankrupt the country. He was also consistently critical of Sukarno’s anti-Western and anti-Malaysian foreign policy. After Sukarno’s downfall, Hatta came out of retirement to serve as special adviser to President Suharto on the problem of government corruption.

One of Indonesia’s leading economists, Hatta is known as the “father of the Indonesian cooperative movement.” His writings include The Co-operative Movement in Indonesia (1957), “Indonesia between the Power Blocs,” Foreign Affairs, vol. 36 (1958), and Past and Future (1960).

www.britannica.com